27 September 2016

Hidup Sederhana Atau Mewah Adalah Pilihan

Baca lagi yuk, judulnya: Hidup sederhana atau mewah adalah pilihan. Ulangi lagi membacanya, pelan-pelan saja. Setuju tidak dengan pernyataan itu? 

Kalau kamu setuju, kamu bisa lanjut membaca tulisan ini sampai selesai. Kalau tidak setuju, please jangan diteruskan ya. Lihat-lihat saja gambar yang ada di tulisan ini, lalu pindah ke tulisan lain. Deal ya?!


Hidup Mewah atau Sederhana adalah Pilihan



Buat kamu yang setuju tapi masih bingung, kenapa hidup sederhana bisa jadi pilihan, begitu juga hidup mewah. Begini.. Setiap orang itu berhak, dan sangat berhak bahkan, untuk bisa menentukan bahwa dia akan hidup seperti apa. Sederhana atau mewah.

Sekilas saja, sudah gampang sekali ditebak, kebanyakan orang akan memilih apa. Cara jawabnya pun begini: “Kalau disuruh milih, ya jelas pilih hidup mewah dong!” Pasti kamu juga begitu, kan? Manusiawi, kok. 

Lalu kamu pun langsung mempertanyakan tentang nasib dan takdir, bahwasannya nasib dan takdir setiap orang itu berbeda-beda. Jadi, mana mungkin bisa memilih mau hidup seperti apa? Ya, kan?


PILIHAN VS TAKDIR

Sebelum bicara tentang takdir, kita pahami dulu moral cerita dari “PILIHAN” ini. Kenapa disebut pilihan hidup, ya karena memang dari awal kita bisa memilih. Sejak dini kita bisa memilih untuk rajin belajar, bergaul dengan banyaaak sekali teman dari berbagai kalangan, mendalami bidang tertentu hingga mencapai level expert, dan berusaha menjadi terkenal. Kalau semua langkah itu ditempuh dengan baik, impian untuk bisa hidup dalam kondisi mewah itu sepertinya sangat masuk akal untuk diwujudkan. Setuju, kan?

Ingat, itu tadi adalah langkah-langkah yang ditempuh secara benar, alias POSITIF. Tentu cara ini perlu waktu yang tidak sebentar dalam prosesnya. Perlu tekun dan ulet. Ini kuncinya. Hal ini juga yang masuk dalam kategori “pilihan” itu. Mau atau tidak kita memilih untuk tekun dan sabar. Buat yang tidak mau berlama-lama prosesnya, ada juga cara-cara instan yang NEGATIF, dan waktunya sangat singkat. Kamu paham lah ke arah mana itu.. Eitss, jangan sekali pun terlintas ke arah sana ya, jangan aja deh pokoknya.. 

Artinya, semua jalan itu bisa diupayakan. Kita yang memilih untuk mengupayakannya. Kita sendiri yang memilih, lalu menjalankannya. Sementara – menurut saya – yang disebut TAKDIR itu adalah kondisi yang menjadikan jalan kita (menuju ke hal yang kita inginkan) itu menjadi lebih mudah. Satu-satunya contoh gampang adalah kita dilahirkan di keluarga seperti apa: KAYA RAYA atau MISKIN PAPA. Itu saja!

Kalau kita dilahirkan oleh orangtua yang kondisinya kaya raya, ya tentu saja jalan kita menuju ke sebuah kehidupan mewah seharusnya akan jauh lebih mudah. Takdir ini adalah ibarat bonus. Ini suatu hal yang wajib (sewajib-wajibnya) untuk disyukuri, bukan disalahgunakan dan disia-siakan. Oke, jalan mulus ada di depan mata, tapi bukan 100% jaminan bahwa kamu bisa langsung klaim bakal hidup mewah di masa depan. Tidak ada jaminan!

Lahir di Keluarga Kaya Raya


Sementara kalau kita dilahirkan oleh orangtua yang kondisinya miskin papa, ya itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita tolak. Disyukuri juga bahwa kita lahir selamat, begitu juga dengan ibu kita – yang perlu perjuangan hidup dan mati saat melahirkan kamu. Di kondisi ini lah perjuangan kamu sesungguhnya atas pilihan itu akan tampak nyata. Kalau kamu sungguh-sungguh dalam mengejarnya, plus kamu kembalikan lagi (berserah dan memohon dalam doa) ke Yang Maha Memiliki Kemewahan, kalau pun meleset pasti lah tidak akan jauh dari yang kamu harapkan. Toh, orangtua kamu juga pasti selalu berdoa agar kamu kelak bisa hidup jauh lebih baik dari mereka. Doa orangtua itu sangat penting, bro-sis! Itu saja, sih.

STUDI KASUS

Nah, sekarang kita studi kasus dulu yuk. Apa yang terlintas di benak kamu kalau kamu dengar ada orang dengan gaya hidup seperti ini: pagi-siang-malam makannya mie instan, tidak punya mobil, dan punya prinsip “warteg is the best” alias menu makan favoritnya adalah beli di warteg. Apa yang kebayang di pikiran kamu? Yup, pasti kamu langsung nge-judge (sambil ketok palu pula biar tambah mantap) bahwa orang itu hidup sederhana, sangat sederhana, atau bahkan di bawahnya lagi. Setuju, ya?

Yuk, sekarang coba kita intip lebih dekat, gaya hidup sederhana dengan ciri-ciri seperti itu, apa memang betul jadi sebuah pilihan, nasib, takdir, atau apa lagi istilahnya. Semua ciri ini bisa terjadi di 1 orang yang sama, atau dalam diri 1 orang cukup punya 1-2 ciri saja. Mari kita bedah satu per satu ya.. 


Pagi Siang Malam Makan Mie Instan

Penggemar mie instan, mari merapat, siapa tahu bisa terinspirasi. Ada (mungkin) orang yang setiap makan (pagi, siang, dan malam) hanya menyantap mie instan. Mereknya sih beragam, ada yang depannya “indo”, “super”, “sari”, kadang kemasan gelas yang “pop” itu, dan sesekali pemain mie baru yang ngaku-ngaku mewah itu.

Dari sejumlah brand itu, yang jadi favorit dan paling sering disantap, sih, yang depannya “indo”. Spesifikasinya: mie instan rebus rasa Kaldu Ayam, dengan tambahan paha ayam goreng (kaki sebelah kiri), telur rebus (dipotong separo), dan aneka topping penyegar lainnya, seperti tomat dkk.

Tidak harus Kaldu Ayam, kok, yang lain juga disikat. Tapi yang jelas: setiap makan sehari-harinya selalu saja menunya mie instan. Kuat juga ya perutnya? Sebegitu hematnya kah?

Pas dilihat contoh (sample) pola makannya dalam 1 hari secara lebih detail, kita bisa lihat seperti ini: 

1. Sarapan mie instan rebus rasa Soto Mie sambil duduk santai menikmati atraksi lumba-lumba liar di mulut pantai Monkey Mia, di Perth, Australia.


Sarapan Mie Instan di Australia


2. Siangnya makan mie instan Mi Keriting Goreng rasa Ayam Cabe Rawit (2 porsi) setelah lelah bermain air dan snorkeling sembari menikmati keindahan pemandangan alam di Pasir Timbul, Raja Ampat, Papua.


Makan Siang Mie Instan di Raja Ampat


3. Makan malamnya ditutup dengan sajian menu mie instan rebus rasa Ayam Spesial saat nongkrong di pelataran Universal Studio, Singapura.


Makan Malam Mie Instan di Singapura


Ckckck.. Mie instan terus ya, kasihan. Padahal dia sangat mobile, sering berpindah-pindah tempat dengan frekuensi yang tinggi dalam 1 hari yang sama. Eh, kasihan nggak, sih? Hehehe.. Gaya hidup yang aneh.

Ini, dapat lagi bocoran pola makan orang itu di hari yang berbeda, kita lihat dari pagi hingga malam juga, seperti ini:

Sarapan mie instan rebus rasa Kari Ayam setelah puas menikmati sunrise di pantai Falesia Beach di Algarve, Portugal. Siangnya melahap habis mie instan dalam kemasan gelas rasa Kari Keju sembari menyaksikan gelaran MotoGP di sirkuit Valencia, Spanyol. Sementara malamnya menyantap mie instan rebus rasa Empal Gentong sesaat sebelum menyaksikan pertandingan Real Madrid di Estadio Santiago Bernabeu, Madrid, Spanyol. Gambarnya search sendiri di Google lah ya..

Tidak Punya Mobil

Ini ciri berikutnya: tidak punya mobil. Tidak tampak ada mobil satu pun yang nongkrong di rumahnya. Saat ditanya tentang hal itu (tentu saja dengan cara hati-hati, khawatir nyinggung perasaannya), jawabannya ada beberapa poin.

Alasan yang disebutkan di awal-awal adalah:

  • Tidak mau menyiapkan sejumlah uang, baik untuk membeli mobil secara cash, maupun hanya untuk DP, yang selanjutnya pasti direpotkan dengan menyicilnya setiap bulan.
  • Tidak mau capek nyetir dan stress (berinteraksi secara langsung sebagai sopir) akibat kemacetan jalan raya.
  • Tidak mau pusing cari rute jalan dan risiko nyasar-nyasar.
  • Tidak mau repot menanggung potensi-potensi terjadi kecelakaan dan segala dampak yang diakibatkannya.
  • Tidak mau repot servis mobil, atau ke bengkel karena mobil bermasalah.
  • Tidak mau repot cuci mobil.
  • Tidak mau repot antre di pom bensin.
  • Tidak mau repot bayar pajak setiap tahun, plus ganti plat nomor setiap lima tahun. Biasanya sebagian orang rela membayar pajak lebih mahal demi memiliki plat nomor special, seperti terbaca kata tertentu, atau jumlah digit angkanya hanya sedikit (1-3).  
  • Tidak mau dipusingkan dengan kekhawatiran pencurian dan pengrusakan mobil atau komponen dari mobil, seperti spion, lampu, antena, atau velg.
  • Tidak mau direpotkan dengan tagihan-tagihan uang kecil dadakan oleh “Pak Ogah” yang acapkali memecah konsentrasi saat menyetir. Pak Ogah ini disebut juga Polisi Cepek, sesuai karakter Pak Ogah dalam serial tv jadul: Si Unyil, yang sedikit-sedikit minta uang Rp 100 (cepek) ke setiap orang. Sesuai perkembangan, nilai cepek pun bergeser menjadi gopek, seceng, bahkan noceng (Rp 2.000). sebutannya sih masih Polisi Cepek, tapi kalau dikasih cepek dia pasti ngomel. 
  • Tidak mau dibikin kaget dengan aksi para tukang parkir karbitan yang tiba-tiba nongol di sejumlah mini market.
  • Tidak mau repot mendapat charge langganan parkir di kantor dan charge tambahan iuran bulanan keamanan di perumahan.

Plat Nomor Mobil Mewah


Hufft, ternyata punya mobil itu memang banyak hal yang harus diperhatikan, disiapkan, dan disisihkan. Nah, kalau tidak ada mobil, lalu bagaimana kalau dia mau pergi?

Sstt, ternyata di daftar kontak di henponnya, berjejer rapi nomor telepon Silver Bird dan sewa Alphard untuk berbagai titik lokasi, hingga kontak sewa mobil plus sopir saat bernostalgia di Jogja. Ditambah aplikasi Go-Car, Grab-Car, dan Uber yang thumbnail-nya selalu standby di home screen hp. Bahkan ada nomor telepon tukang ojek dekat rumah untuk sekadar belanja di mini market. Hmm… 


Warteg is The Best

Ciri terakhir adalah selalu mengandalkan Warteg (Warung Tegal), yang identik dengan menu makanan rumahan sederhana dan murah. Waktu makannya tidak tentu, dan lokasinya pun berpindah-pindah.

Biasanya sehari sebelumnya, dia mendatangi sebuah Panti Asuhan dan sejenisnya, lalu menghampiri sebuah warteg terdekat yang ada di sekitarnya. Sejam sebelum jam makan tiba, dia ambil bungkusan yang sudah dipesannya untuk dibawa ke Panti Asuhan. Jumlahnya bisa puluhan, bisa ratusan, tergantung jumlah anak didik, pendidik, dan seluruh jajaran pengurus di Panti Asuhan itu, tanpa kecuali.

Acara makan nasi bungkus nan sederhana bersama-sama ini rutin dilakukan, khususnya di akhir pekan. Anak panti happy, penjual warteg juga happy. Prinsipnya tetap konsisten: warteg is the best.

Bagaimana? Sudah bisa memahami ya, kalau hidup mewah atau sederhana itu memang sebuah pilihan. Mungkin kamu sedikit mengernyitkan dahi, atau geleng-geleng kepala sejenak melihat gaya hidup di studi kasus itu. Tapi ya namanya pilihan hidup, ya apa pun itu harus dihormati. Mulai sekarang, tentukan sendiri yuk, kamu mau hidup seperti apa?

No comments:

Post a Comment